Culture Shock Pada Mahasiswa Rantau


Culture Shock Pada Mahasiswa Rantau

Mahasiswa salah satu insan pendidikan yang bebas menuntut ilmu di universitas manapun khususnya di Indonesia. Dengan adanya fenomena ini, muncul sebuah permasalahan mendasar bagaimana mereka mampu beradaptasi di lingkungan baru. Penting memperhatikan proses adaptasi yang harus mereka lalui akan mempengaruhi bagaimana mereka menjalani proses pendidikan mereka dan pengaruhnya pada prestasi belajarnya.
 Ada beberapa yang mengatakan bahwa kuliah di luar pulau akan menambah pengalaman mereka, kuliah di luar pulau agar mereka bisa mandiri karena jauh dari orang tua, dan masih banyak alasan lain. Hal ini sangat diterima oleh siapa pun asalkan mereka mampu menyesuaikan diri dimana pun dia berada. Dari fenomena ini, adaptasi sangat ditekankan bagi siapa pun yang ingin menetap di luar tempat tinggalnya. Maka muncul sebuah permasalahan yang biasanya menimpa individu yang memutuskan untuk tinggal di luar daerahnya. Bagaimana kemampuan penyesuaian diri mereka di budaya baru yang mereka datangi. Diantara berbagai persoalan penyesuaian diri yang dialami para mahasiswa ini, salah satu persoalan yang dianggap sebagai issue mendasar yang khas dialami oleh mereka adalah adanya fenomena culture shock. Hal ini terjadi karena kultur adalah sebuah penunjuk bagi arah perilaku, dan menuntun cara berpikir dan berperasaan individu.  Ketika individu berada dalam kultur yang berbeda, seseorang dapat mengalami kesulitan bila penunjuk yang dia gunakan tidak menunjuk pada arah yang sama dengan budaya setempat. Istilah Culture Shock awalnya dikenal melalui jurnal medis sebagai penyakit yang parah karena berpotensi menghilangkan nyawa seseorang, yang diperoleh individu saat ia secara tiba-tiba dipindahkan ke luar negeri. Secara Sosial, Culture shock dikenalkan pertama kali oleh seseorang sosiolog bernama Kalervo Oberg (1960) mendefinisikan culture shock sebagai penyakit yang diderita oleh individu yang hidup di luar kulturnya. Istilah ini mengandung pengertian cemas, hilangnya arah, perasaan tidak tahu apa yang harus dilakukan atau tidak tahu bagaiamana harus melakukan sesuatu, yang dialami oleh individu tersebut ketika ia berada dalam lingkungan yang secara kultur maupun sosial baru. Oberg lebih lanjut menjelaskan hal itu dipicu oleh kecemasan individu karena ia kehilangan simbol-simbol yang selama ini dikenalnya dalam interaksi sosial, terutama terjadi saat individu tinggal dalam budaya baru dalam jangka waktu yang relatif lama.

Tahap pendekatan dalam menjelaskan culture shock, antara lain :
1.      Pendekatan Kognitif
Pendekatan ini mempostulasikan bahwa kemampuan untuk penyesuaian lintas budaya individu akan tergantung dari kemampuan individu tersebut untuk membuat atribusi yang tepat mengenail nilai-nilai kultur, kepercayaan, perilaku dan norma di lingkungan yang baru. Individu mengalami ketidakmampuan menyesuaikan diri karena mereka menggunakan standar kulturnya sendiri untuk menilai, menginterpretasikan dan berperilaku dalam lingkungan yang baru (Triandis dalam Chapdelaine, 2004). Hal inilah yang membuat penyesuaian dirinya menjadi tidak efektif karena perbedaan cara menginterpretasikan suatu kejadian bisa menimbulkan kesalahpahaman di sana sini.

2.      Pendekatan Perilaku
Menurut pendekatan ini, ketidakmampuan adaptasi terjadi karena individu tidak memahami sistim “hadiah dan hukuman” yang berlaku di kultur yang baru, dimana sistim hadiah dan hukuman ini bisa saja tergambar dalam perilaku verbal maupun nonverbal dalam kultur tersebut (Anderson dalam Chapdelaine, 2004). Dalam hal ini, bisa saja terjadi, hal yang di kultur asal dianggap sebagai hal yang dianggap baik, sehingga mendapatkan hadiah, mungkin di kultur baru dianggap buruk, sehingga mendapatkan hukuman. Misalnya saja: di Indonesia menanyakan “Mau kemana? Dari mana? Sudah mandi atau belum?” pada teman dianggap sebagai perhatian dan kepedulian. Bisa saja di negara yang lain dianggap terlalu mencampuri urusan orang dan membuat orang tersinggung.
3.      Pendekatan Fenomenologis
Menurut pendekatan ini, culture shock merupakan pengalaman transisional dari kondisi kesadaran yang rendah akan diri dan kultur, ke kesadaran yang tinggi akan diri dan kultur (Adler, 1975; Bennett, dalam Chaldelaine, 2004). Menurut pendekatan ini, culture shock terjadi karena mereka tidak dapat lagi menggunakan referensi-referensi/nilai-nilai kulturnya untuk memvalidasi aspek penting kepribadiannya. Misalnya bila di kultur asalnya ia meyakini dirinya adalah anak baik-baik karena tidak pernah minum-minuman di bar, tidak melakukan seks bebas dengan lawan jenis,dll. Tetapi di lingkungan yang baru, ia tidak dapat menggunakan standar “anak baik” sebagaimana yang digunakan di kultur asalnya. Di tempat yang baru, kondisi ini justru membuatnya dicap sebagai “anak ketinggalan jaman, kuno dan kolot”. Dalam proses inilah seringkali individu mempertanyakan kembali keyakinan-keyakinan yang dulu pernah dimilikinya, bahkan mempertanyakan kembali konsep dirinya yang sebelumnya diyakini selama ini. Hal ini seringkali menimbulkan krisis tersendiri bagi individu tersebut.
4.      Pendekatan Sosiopsikologis
Pada pendekatan ini, meliputi :
·         Penyesuaian psikologis/afektif : ketidaksamaan kultur antara kultur asal dan kultur di tempat baru menimbulkan perasaan asing, perasaan kesepian, rasa keterhilangan di tempat yang baru bagi dirinya.
·         Penyesuaian sosial: Dalam hal ini, culture shock terjadi karena individu tidak memiliki pemahaman budaya yang cukup untuk ia dapat berinteraksi dengan baik dengan warga lingkungan baru. Individu juga memiliki identitas kultur yang begitu besar sehingga menyulitkannya untuk beradaptasi dengan kultur yang baru. 

Referensi : http://reza-r--fpsi10.web.unair.ac.id/artikel_detail-119689-Umum-culture%20shock%20pada%20mahasiswa%20rantau.html











Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian Penelitian Lapangan, Kelebihan, dan Kekurangan

Budaya Kerja di PT. Bayer Indonesia

Manajemen Layanan Sistem Informasi